Filosofi Kopi
Resensi Film
Dikerjakan Oleh
Mr. Stranger (G.331.17.0050)
ILMU KOMUNIKASI KELAS B
UNIVERSITAS SEMARANG
TAHUN 2017/20018
Filosofi
Kopi
Produser
:
Handoko Hendroyono, Anggia Kharisma
Sutradara :
Angga Dwimas Sasongko
Skenario :
Jenny Yusuf
Pemain :
Chico
Jericho sebagai Ben
Rio
Dewanto sebagai Jody
Julie
Estelle sebagai El
Jajang
C. Noer sebagai Bu Seno
Otiq
Pakis sebagai Ayah Ben
Ronny
P. Tjandra sebagai Pengusaha
Slamet
R. Djarot sebagai Pak Seno
Bahasa :
Indonesia
Penulis
Naskah : Jenny Jusuf
Durasi : 117
menit
Tanggal rilis : 9 April 2012
Produksi : Visinema
Pictures
Sinopsis
Film
ini dimulai dengan adegan di suatu pagi yang ceria. Kedai Filosofi Kopi sedang
ramai seperti biasa. Seorang pelayan dengan tersenyum memandang review kedai
Filosofi Kopi yang ditulis, “…menghidupkan kembali Melawai.”
Lalu
tampak Ben (Chicco Jerikho) berdiri dengan apron cokelat andalannya, rambut
gondrong terikat, dan topi yang selalu ia pakai saat sedang membuat kopi. Ia
dengan lihai menceritakan filosofi setiap jenis kopi pada pelanggan. Ini
termasuk merayu konsumen perempuan dengan menggunakan filosofi cappucino:
keindahan yang mirip kamu.
Filosofi
Kopi bercerita tentang Ben dan Jody (Rio Dewanto). Ben yang merupakan seorang
barista handal dan berkaliber dalam meramu kopi, bersama Jody, mendirikan suatu
kedai kopi yang disebut Filosofi Kopi Temukan
Diri Anda Di Sini.
Ben
selalu memberikan sebuah deskripsi singkat mengenai filosofi kopi dari setiap
ramuan kopi yang disuguhkannya di kedai tersebut. Kedai tersebut menjadi sangat
ramai dan penuh pengunjung. Namun, mereka mempunyai hutang ratusan juta rupiah
yang mengancam keberadaan kedai tersebut.
Suatu
hari, seorang pria kaya menantang Ben untuk membuat sebuah ramuan kopi yang
apabila diminum akan membuat orang menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa
berkata: hidup ini sempurna. Dan pada akhirnya Ben berhasil membuatnya. Ramuan
kopi yang disebut Ben's Perfecto tersebut menjadi kopi terenak hingga El (Julie
Estelle) yang sudah berkeliling Asia karena kecintaannya terhadap kopi datang untuk
mencicipi Ben’s Perfecto dan mengatakan bahwa rasa kopi tersebut hanya
"lumayan enak" dibandingkan kopi yang pernah dicicipinya di suatu
lokasi di Jawa Tengah.
Dengan
begitu marahnya, Ben memaksa El untuk mengajaknya menemui peracik kopi yang
bisa membuat kopi terenak yang seperi dikatakannnya tersebut. El menyanggupi
permintaan dari Ben. Bersama Jody, El mengantarkan Ben ke sebuah perkebunan
kopi yang disitu terdapat rumah seorang peracik kopi tiwus.
Mereka
mencicipi kopi tiwus tersebut dan ternyata kopi tiwus tersebut memang begitu
nikmat. Karena merasa disaingi Ben akhirnya berhenti menjadi seorang barista
kopi dan pulang dikampung halamannya. Tetapi Jody sebagai sahabat tidak bosan
mengajak Ben untuk meracik kopi lagi.
Setelah
itu akhirnya Ben mau untuk meracik kopi, tetapi kopi yang digunakannya adalah
kopi Tiwus, yang sudah terbukti enak. Ben dan Jody membuka kedai lagi dengan
memesan kopi Tiwus langsunng kepada perkebunannya. Tetapi berbeda dengan kedai
yang dibukanya kemarin, sekarang Ben dan Jody membuka kedai keliling, mereka
ingin berjalan-jalan dunia bersama manisnya kopi.
Kelebihan
Film Filosofi Kopi adalah film
adaptasi dari buku kaya Dewi Lestari yang berjudul sama dengan filmnya. Dan
seperti kebanyakan film adaptasi lainnya, tentu ada penyesuaian yang tidak
sesuai dengan cerita aslinya, entah itu mendapat pengurangan maupun penambahan
bagian. Menariknya, Filosofi Kopi mendapatkan beberapa penambahan yang membuat
ceritanya semakin bisa dinikmati. Penambahan yang paling kuat adalah latar
belakang Ben, hubungan dia dengan Ayahnya dan sebab dia sangat terobsesi
terhadap kopi. Di dalam cerpennya, latar belakang Ben tidak begitu dijelaskan.
Penambahan ini membuat motif Ben terobesi kopi menjadi lebih wajar dan membuat
alur film lebih masuk akal. Ditambah lagi dengan akting Chico Jerico semakin
baik membuat karakter Ben lebih hidup.
Penambahan
selanjutnya adalah karaker Jody yang lebih berapi-api. Ini membuat karakter
yang diperankan dengan sangat baik oleh Rio Derwanto itu lebih kuat dan membuat
film berjalan tidak monoton. Sementara El yang diperankan Julie Estelle
walaupun di film ini karakternya tidak begitu kuat, tapi tetap dapat mencuri
perhatian dan membantu menjalin rangkaian cerita dengan tepat.
Penambahan
lainnya adalah adanya beberapa karyawan di dalam kafe Filosofi Kopi. Hal ini
bisa membuat alur cerita lebih hidup karena seisi film bukan cuma tentang Ben
dan Jody saja.
Kelebihan
lain dari film ini adalah penataan musik yang semakin membuat film nikmat untuk
ditonton. Lagu-lagunya yang lembut dan elegan sangat menyatu dengan cerita
film. Apalagi lagu ‘sahabat sejati’ yang di-remake
dari band legendaris Sheila On7, sangat memberi nyawa pada film tersebut.
Kekurangan
Filosofi
Kopi secara visual sangatlah indah. Cara menyeduh kopi. Pewarnaan yang cantik.
Hingga lanskap perkebunan teh dan kopi. Dari segi penceritaan berhasil meramu
kisah yang kompleks, tapi bisa dituturkan dengan sangat baik.
Tapi
film ini memiliki banyak sekali lubang dan kekurangan, tentu saja. Yang paling
mencolok tentu adalah akting beberapa karakter. Seperti karakter si Om yang sedikit
tidak penting dan kaku. Lalu kenapa ia sampai harus pergi ke Ben? Apakah hanya
karena artikel di koran belaka?
Karakter
Ben cukup meyakinkan. Walau sedikit membuat dahi berkernyit. Saat dia
mendatangi Ijen dan menemui pemilik kopi tiwus, sikapnya terlalu berlebihan.
Pernah melihat orang bersikap kasar di hadapan orang tua yang dihormati namun
baru dikenal?
Lalu
karakter El yang terasa kurang berkembang. Harusnya sebagai Q-Grader, dia bisa
menjelaskan kenapa Ben’s Perfecto itu kalah enak ketimbang Tiwus. Apakah
persoalan biji? Cara sangrai? Atau sekedar hambar dan terasa tanpa jiwa?
Sayang, sebagai karakter yang digambarkan sebagai penilai kopi kelas
internasional, dia malah sama sekali tidak mengeluarkan ilmunya.
Kesimpulan
Filosofi Kopi bukanlah film yang
melulu soal filosofi. Cerita-cerita di dalamnya mengumbar tentang obsesi,
persahabatan, penemuan jati diri, serta rekonsiliasi hubungan anak dan orang
tua juga tidak menawarkan hal yang baru. Maka, jika diibaratkan kopi, ia bukan
kopi tubruk, apalagi kopi tubruk yang dibuat dari biji Kopi Tiwus. Film ini
adalah secangkir cappuccino: ringan, tetapi nikmat diminum.
No comments:
Post a Comment