Sunday, November 26, 2017

Resensi Film Filosofi Kopi (2015)



Filosofi Kopi
Resensi Film

Dikerjakan Oleh
Mr. Stranger (G.331.17.0050)


ILMU KOMUNIKASI KELAS B
UNIVERSITAS SEMARANG
TAHUN 2017/20018

Filosofi Kopi


Produser                      : Handoko Hendroyono, Anggia Kharisma
Sutradara                     : Angga Dwimas Sasongko
Skenario                      : Jenny Yusuf
Pemain                        :
Chico Jericho              sebagai            Ben
Rio Dewanto               sebagai            Jody
Julie Estelle                 sebagai            El
Jajang C. Noer            sebagai            Bu Seno
Otiq Pakis                   sebagai            Ayah Ben
Ronny P. Tjandra        sebagai            Pengusaha
Slamet R. Djarot         sebagai            Pak Seno
            Bahasa                         : Indonesia
Penulis Naskah            : Jenny Jusuf
            Durasi                          : 117 menit
            Tanggal rilis                 : 9 April 2012
            Produksi                      : Visinema Pictures
           
Sinopsis
Film ini dimulai dengan adegan di suatu pagi yang ceria. Kedai Filosofi Kopi sedang ramai seperti biasa. Seorang pelayan dengan tersenyum memandang review kedai Filosofi Kopi yang ditulis, “…menghidupkan kembali Melawai.”
Lalu tampak Ben (Chicco Jerikho) berdiri dengan apron cokelat andalannya, rambut gondrong terikat, dan topi yang selalu ia pakai saat sedang membuat kopi. Ia dengan lihai menceritakan filosofi setiap jenis kopi pada pelanggan. Ini termasuk merayu konsumen perempuan dengan menggunakan filosofi cappucino: keindahan yang mirip kamu.
Filosofi Kopi bercerita tentang Ben dan Jody (Rio Dewanto). Ben yang merupakan seorang barista handal dan berkaliber dalam meramu kopi, bersama Jody, mendirikan suatu kedai kopi yang disebut Filosofi Kopi Temukan Diri Anda Di Sini.
Ben selalu memberikan sebuah deskripsi singkat mengenai filosofi kopi dari setiap ramuan kopi yang disuguhkannya di kedai tersebut. Kedai tersebut menjadi sangat ramai dan penuh pengunjung. Namun, mereka mempunyai hutang ratusan juta rupiah yang mengancam keberadaan kedai tersebut.
Suatu hari, seorang pria kaya menantang Ben untuk membuat sebuah ramuan kopi yang apabila diminum akan membuat orang menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa berkata: hidup ini sempurna. Dan pada akhirnya Ben berhasil membuatnya. Ramuan kopi yang disebut Ben's Perfecto tersebut menjadi kopi terenak hingga El (Julie Estelle) yang sudah berkeliling Asia karena kecintaannya terhadap kopi datang untuk mencicipi Ben’s Perfecto dan mengatakan bahwa rasa kopi tersebut hanya "lumayan enak" dibandingkan kopi yang pernah dicicipinya di suatu lokasi di Jawa Tengah.
Dengan begitu marahnya, Ben memaksa El untuk mengajaknya menemui peracik kopi yang bisa membuat kopi terenak yang seperi dikatakannnya tersebut. El menyanggupi permintaan dari Ben. Bersama Jody, El mengantarkan Ben ke sebuah perkebunan kopi yang disitu terdapat rumah seorang peracik kopi tiwus.
Mereka mencicipi kopi tiwus tersebut dan ternyata kopi tiwus tersebut memang begitu nikmat. Karena merasa disaingi Ben akhirnya berhenti menjadi seorang barista kopi dan pulang dikampung halamannya. Tetapi Jody sebagai sahabat tidak bosan mengajak Ben untuk meracik kopi lagi.
Setelah itu akhirnya Ben mau untuk meracik kopi, tetapi kopi yang digunakannya adalah kopi Tiwus, yang sudah terbukti enak. Ben dan Jody membuka kedai lagi dengan memesan kopi Tiwus langsunng kepada perkebunannya. Tetapi berbeda dengan kedai yang dibukanya kemarin, sekarang Ben dan Jody membuka kedai keliling, mereka ingin berjalan-jalan dunia bersama manisnya kopi.

Kelebihan
            Film Filosofi Kopi adalah film adaptasi dari buku kaya Dewi Lestari yang berjudul sama dengan filmnya. Dan seperti kebanyakan film adaptasi lainnya, tentu ada penyesuaian yang tidak sesuai dengan cerita aslinya, entah itu mendapat pengurangan maupun penambahan bagian. Menariknya, Filosofi Kopi mendapatkan beberapa penambahan yang membuat ceritanya semakin bisa dinikmati. Penambahan yang paling kuat adalah latar belakang Ben, hubungan dia dengan Ayahnya dan sebab dia sangat terobsesi terhadap kopi. Di dalam cerpennya, latar belakang Ben tidak begitu dijelaskan. Penambahan ini membuat motif Ben terobesi kopi menjadi lebih wajar dan membuat alur film lebih masuk akal. Ditambah lagi dengan akting Chico Jerico semakin baik membuat karakter Ben lebih hidup.
Penambahan selanjutnya adalah karaker Jody yang lebih berapi-api. Ini membuat karakter yang diperankan dengan sangat baik oleh Rio Derwanto itu lebih kuat dan membuat film berjalan tidak monoton. Sementara El yang diperankan Julie Estelle walaupun di film ini karakternya tidak begitu kuat, tapi tetap dapat mencuri perhatian dan membantu menjalin rangkaian cerita dengan tepat.
Penambahan lainnya adalah adanya beberapa karyawan di dalam kafe Filosofi Kopi. Hal ini bisa membuat alur cerita lebih hidup karena seisi film bukan cuma tentang Ben dan Jody saja.
Kelebihan lain dari film ini adalah penataan musik yang semakin membuat film nikmat untuk ditonton. Lagu-lagunya yang lembut dan elegan sangat menyatu dengan cerita film. Apalagi lagu ‘sahabat sejati’ yang di-remake dari band legendaris Sheila On7, sangat memberi nyawa pada film tersebut.

Kekurangan
Filosofi Kopi secara visual sangatlah indah. Cara menyeduh kopi. Pewarnaan yang cantik. Hingga lanskap perkebunan teh dan kopi. Dari segi penceritaan berhasil meramu kisah yang kompleks, tapi bisa dituturkan dengan sangat baik.
Tapi film ini memiliki banyak sekali lubang dan kekurangan, tentu saja. Yang paling mencolok tentu adalah akting beberapa karakter. Seperti karakter si Om yang sedikit tidak penting dan kaku. Lalu kenapa ia sampai harus pergi ke Ben? Apakah hanya karena artikel di koran belaka?
Karakter Ben cukup meyakinkan. Walau sedikit membuat dahi berkernyit. Saat dia mendatangi Ijen dan menemui pemilik kopi tiwus, sikapnya terlalu berlebihan. Pernah melihat orang bersikap kasar di hadapan orang tua yang dihormati namun baru dikenal?
Lalu karakter El yang terasa kurang berkembang. Harusnya sebagai Q-Grader, dia bisa menjelaskan kenapa Ben’s Perfecto itu kalah enak ketimbang Tiwus. Apakah persoalan biji? Cara sangrai? Atau sekedar hambar dan terasa tanpa jiwa? Sayang, sebagai karakter yang digambarkan sebagai penilai kopi kelas internasional, dia malah sama sekali tidak mengeluarkan ilmunya.

Kesimpulan
            Filosofi Kopi bukanlah film yang melulu soal filosofi. Cerita-cerita di dalamnya mengumbar tentang obsesi, persahabatan, penemuan jati diri, serta rekonsiliasi hubungan anak dan orang tua juga tidak menawarkan hal yang baru. Maka, jika diibaratkan kopi, ia bukan kopi tubruk, apalagi kopi tubruk yang dibuat dari biji Kopi Tiwus. Film ini adalah secangkir cappuccino: ringan, tetapi nikmat diminum.
           

No comments:

Post a Comment

Pengalaman Mahasiswa Mendapatkan Nilai Pertamanya

S ebelum aku bercerita tentang pengalamanku ketika pertama kali mendapatkan nilai di semester awa kuliah, ijinkah aku memperkenalkan diri...