Sebelum aku bercerita tentang pengalamanku ketika
pertama kali mendapatkan nilai di semester awa kuliah, ijinkah aku
memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Sebut saja aku Mario, Mahasiswa semester awal kelas
sore di sebuah Universitas Swasta di Semarang, fakultas FTIK, jurusan Ilmu
Komunikasi. Aku perantauan dari kota Jepara. Aku bekerja di sebuah tempat
dengan gaji standar UMR. Makanya aku memilih kelas sore untuk kuliah karena
paginya sibuk mencari uang yang kadang lembur sampai malam banget.
Aku merasa sudah terlalu tua untuk kuliah. Umur hampir seperempat abad, sudah nggak bisa lagi untuk dibuat
main-main. Ada tanggung jawab besar kepada diri sendiri dan keluarga. Tapi aku
tetap berpikir bahwa kuliah itu penting. Apalagi jika aku ingin meningkatkan
nasibku hingga nggak gini-gini terus. Aku punya anggapan jika
pendidikan itu dapat merubah nasib seseorang. Makanya, sebisa mungkin aku
serius dalam menjalani proses perkuliahan ini. Mengingat biaya bulanannya yang nggak sedikit untuk ukuran gajiku yang
pas-pasan banget. Dan keinginan mengubah nasib untuk bahagiain keluarga.
Tapi pengalaman pertama waktu lihat hasil nilai nggak asik banget.
Sebenarnya membicarakan nilai itu hal yang saaaaaangaaaaatt konyooool banget. Apalah
arti nilai di atas kertas itu. Dan aku memang nggak lagi bicara soal nilai. Aku bicara soal keadilan, gimana
dosen yang seharusnya bisa berlaku adil malah berlaku sebaliknya. Okay, jika
dosen itu punya hak menilai sesuka hatinya. Tapi aku tetap protes dengan hal
ini. Sekali lagi mengingat semua perjuangan mencari biaya, menunggu waktu
hingga baru bisa merealisasikan di umur tua ini dan harapan-harapan itu. Apalagi jika
kau sudah terlalu banyak makan ketidak keadilan di seumur hidupmu, pasti kau
akan punya kesadaran untuk memberontak terhadap siapa pun yang nggak berlaku
tidak adil.
Aku ingin meminta penjelasan kenapa hanya nilaiku saja
yang berbeda dan rendah, sementara nilai yang lain tinggi-tinggi SEMUA. Bahkan banyak yang nggak ikut UTS atau pun UAS dan jarang berangkat mendapatkan nilai
A semua. Aku jadi bertanya-tanya kesalahan apa yang telah aku perbuat. Apa aku
mengacau di kelas? Apa aku menyakiti hatinya? Apa ini hanya noise komunikasi? Atau memang dosen itu
dendam denganku?
Maka aku pun tanya ke dia. Japri.
Dan jawaban yang muncul, -intinya- begini.
TERSERAH
DOSEN MAU NGASIH NILAI APA. KAU TAK PUNYA HAK UNTUK PROTES. NGERTI????
Hening….
This
is crazy, MAN!!!… perjungan
seseorang tidak sekonyol itu Bu Dosen…
Aku jadi punya rumus untuk kalian mahasiswa yang
membaca ini. Jika kau inginkan nilai bagus:
1.
Jarang-jaranglah
berangkat
2.
Jangan
ikut UTS
3.
Jangan
ikut UAS.
Sesimpel itu. Sekonyol itu. Apalagi jika kau menemukan
dosen seperti dosenku ini.
Okelah, mungkin jika kau mahasiswa yang nggak peduli dengan urusan kuliah. Yang biaya
kuliah tinggal minta ortu. Yang hidup serba kecukupan. Yang nggak pernah
merasakan ketidak adilan. Yang penting lulus, beres.
Tapi ini benar-benar konyol untuk ukuran seseorang
yang siang-malam mencari duit, rela jauh dari keluarga. Rela meluangkan waktu
dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Ini konyol. Sekali lagi ini bukan masalah
nilai, ini masalah ketidak adilan, MADAM…
Perjuangan seseorang tidak sekonyol itu MADAM…
No comments:
Post a Comment